BANTEN- Kegaduhan politik menjelang Pemilu 2024, utamanya untuk Calon Presiden dan Wakil Presiden telah berhasil melupakan harga beras dan bahan pokok lainnya terus merangkak naik mencekik leher. Model budaya saling menyandra pun dijadikan jurus pamungkas, meski untuk mengkudeta partai yang satu pun gagal seperti untuk partai politik yang lain.
Lalu, aroma duren basi di dalam kardus pun mulai diungkit kembali, seperti soal duit KTP yang terlanjur usang. Demikian juga perihal kebon singkong yang mangkrak gagal, seperti cerita tentang kereta cepat yang ternyata lambat pembangunannya.
Meski begitu, toh duit yang sudah ditumpahkan dari APBN sudah tidak terbilang nilai dan jumlahnya, persis seperti duit yang diguyurkan untuk IKN (Ibu Kota Negara) yang diharap menjadi monumen sejarah masa lalu yang melintas sampai masa depan kelak untuk menjadi kebanggaan anak cucu ber-selfi-ria hingga lupa ikhwal sejarah. Mungkin juga sambil mengenang para buyutnya yang telah menorehkan sejarah kelam dalam kegelapan negeri ini.
Amsal cerita ingin piknik ke Puncak sambil menikmati jagung bakar yang enak dan lezat itu. Mas Eko yang mengajak berjalan tentu punya hak menentukan sosok pendamping sopir yang dipercayainya. Sebab, saya sebagai penumpang yang diajak, tidak punya otoritas untuk menentukan pendamping yang layak dan pantas. Sebab semua resiko dan ongkos pasti akan lebih dominan dia yang menanggungnya.
Begitulah gunjang ganjing Pilpres semakin seru menderu setelah pasangan Capres mulai ditentukan pasangannya. Ada yang bilang pasangan Pilpres terbaru dan juga yang pertama ditentukan ini telah mengguncang dunia persilatan perpolitikan di Indonesia.
Kami di kampung yang jauh dari hingar bingar Ibu Kota Jakarta, tempat pusingan badai politik terjadi, lumayan terdampak dari getarannya yang menghentak. Sehingga sulit dibayangkan bagaimana sibuk dan repotnya mereka yang berada di tengah pusingan badai yang tengah memusingkan itu. Padahal, Pesta Demokrasi tanpa hidangan serta tiada sajian menu yang bisa memberi jaminan kepada tubuh setiap orang tetap sehat, tak pernah sempat untuk diperiksakan di Puskesmas.
Lalu, ada pula narasi lain yang menyebut sejumlah calon untuk Pilpres masih tercatat sebagai pasien tetap KPK, karena statusnya terlanjur menjadi pasien rawat jalan bagi KPK. Pendek cerita, seorang sutradara senior yang piawai merangkai drama khas ala Indonesia, mengaku kewalahan untuk melihat bagaimana kelak ending dari semua cerita bila hendak ditayangkan ke kaca kaca yang bisa menjadi tontonan berseri Ibu-ibu di rumah yang sedang keranjingan film Drakor (Drama Korea).
Tidak kalah dramatis mungkin karena dalam drama politik Indonesia kali ini justru terkesan absen diikuti oleh Emak-emak, khususnya kaum perempuan Indonesia yang tak kalah mulia dan cendekia. Bahkan sebagai Caleg (calon legislatif) untuk pusat maupun Caleg di daerah, sudah pernah ditilik oleh Atlantika Institut Nusantara, sebuah lembaga swadaya masyarakat, tidak cukup signifikan sekedar untuk memenuhi kuota minimal yang dipersyaratkan bagi partai politik peserta Pemilu. Sehingga ada yang menduga, mungkin persyaratan minimal untuk kuota Caleg perempuan itu sudah dianulir, seperti batas usia minimal peserta Capres maupun Cawapres. (Jacob Ereste/*/jp).